Upacara Mappogau Hanua di Masyarakat Karampuang (Sinjai)
Upacara Mappogau
Hanua di Masyarakat Karampuang (Sinjai)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam suatu Negara pasti mempunyai
suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Kebudayaan tersebut
bersifat dinamis. Sesuai dengan perubahan zaman yang terus terjadi, begitupun
dengan suatu kebudayaan. Maka dari itu sebagai generasi muda kita seharusnya
ikut berperan penting dalam mempertahankan dan melestarikan suatu kebudayaan
khususnya kebudayaan daerah. Seperti kita ketahui era globalisasi membuat
kebudayaan semakin hari semakin punah.
Suatu
kebudayaan adalah aset yang berharga dari suatu Negara. Di dalam kebudayaan
tersebut terdapat upacara-upacara dan tradisi-tradisi yang tetap menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari masyarakat, walaupun saat ini teknologi dan pola hidup
modern telah mulai merajalela.
Di
setiap daerah mempunyai tradisi- tradisi yang tetap dilestarikan keberadaannya
walapun ada juga yang sudah tidak diperdulikan lagi. Salah satu tradisi yang
tetap eksis di Sulawesi Selatan adalah rumah Adat Karampuang yang terdapat di
Kabupaten Sinjai. Karampuang adalah sebuah perkampungan tua yang tetap
melestarikan kebudayaannya. Kata karampuang
ini berasal dari kata karampulue (berdiri
bulu roma) dan merupakan perpaduan antara kata karaeng dan puang[1].
Karampuang memiliki banyak ritual-ritual adat yang rutin terlaksana setiap
tahun karena rasa memiliki dan kepedulian terhadap tradisi
leluhur merupakan salah satu alasan
pendorong bagi masyarakat Karampuang untuk selalu bertanggung jawab dalam
menjaga, memelihara, dan melestarikan adat budaya sehingga pada akhirnya, kebersamaan dan tanggung
jawab sesama masyarakat pendukung kebudayaan tersebut semakin terjaga. Diantara banyaknya ritual, terdapat tiga
ritual yang memiliki
banyak nilai
gotong royong. Ritual
adat itu adalah Upacara Mappogau Sihanua.
Upacara adat Mappogau Sihanua (Pesta Kampung) adalah
merupakan suatu upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun oleh
masyarakat pendukung kebudayaan Karampuang.
Acara ini berlangsung selama satu minggu dalam
bulan November tahun berjalan. Pelaksanaan Pesta Adat Mappogau Sihanua Karampuang adalah perwujudan rasa syukur atas
keberhasilan panen pertanian/perkebunan sehingga dilaksanakan sangat meriah dan
membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga memerlukan tenaga dan biaya yang
sangat besar tapi hal tersebut selama ratusan tahun ini tidak pernah menjadi
halangan
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
struktur kepemimpinan dalam tardisi Mappogau Hanua?
2. Bagaimana
Pelaksanaan Upacara Mappogau Hanua?
3. Nilai-nilai
apa saja yang terdapat dalam upacara Mappogau Hanua?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Untuk
mengetahui struktur kepemimpinan dalam tradisi Mappogau Hanua
2.Untuk mengetahui Pelaksanaan Upacara
Mappogau Hanua
3.Untuk mengetahui Nilai-nilai yang terdapat
dalam upacara Mappogau Hanua
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Struktur
Kepemimpinan dalam Tradisi Mappogau Hanua
Dalam
kawasan adat karampuang, kepemimpinan dibagi menjadi tiga bagian yaitu Ada Eppa yang berfungsi sebagai lembaga
musyawarah yang terdiri dari Arung,
Gella, Sanro dan Guru. Dala
menjalankan fungsinya sebagai anggota dewan adat, diantara mereka tidak boleh
mengubah keputusan secara sepihak yang disebut dengan “tellura bicara”, untuk menjalankan roda pemerintahan dikenal dengan
“pakkatenni ade” yang terdiri dari to matoa sebagai pemimpin tertinggi. Tomatoa, gella dan ana arung serta ana malolo
juga berfungsi sebagai hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam masyarakat
adat dengan menjatuhkan sanksi berdasarkan lontara Pabbatang atau semacam KUHP dalam system peradilan resmi kita[2].
Tomatoa
dibantu oleh gella yang bertanggung
jawab dalam urusan kemasyarakatan termasuk masalah pertanian, sanro bertanggung jawab dalam urusan
kesehatan dan kesejahteraan, guru bertanggung jawab dalam masalah pendidikan
dan kesenian. Untuk memudahkan menjalankan tugasnya, mereka dibantu oleh “bali tudangeng” yang masing-masing
bertangung jawab terhadap atasannya. Jabatan bali tudangeng antara lain pappajo (bagian keprotokolan istana), paggenrang, pinati dll adalah bali tudangang
sanro, Uragi pakita ita adalah bali
tudangeng gella, katte,
bilala, passikkiri
adalah bali tudangeng guru. Selain jabatan bali tudangeng, tomatoa, gella, guru
mempunyai pembantu khusus yang bertugas menyampaikan keinginan-keinginan tomatoa dan gella kepada masyarakat luas
atau sebaliknya sebagai penyambung lidah masyarakat kepada to matoa atau gella yang disebut
ana arung da nana gella yang sering disebut ana malolo.
STRUKTUR ADE’ EPPA BESERTA TUGAS
MASING-MASING
B.
Pelaksanaan
Upacara Adat Mappogau Hanua
a. Mabbahang adalah musyawarah adat yang
melibatkan seluruh komponen masyarakat. Inti dari Mabbahang ini adalah Mattanra
Esso[3].
Mabbahang itu sendiri baru bisa
dilaksanakan ketika seluruh padi yang tumbuh di karampuang baik sawah adat
maupun sawah penduduk seluruhnya telah di panen. Setelah hari pelaksanaan telah
ditentukan maka seluruh perangkat adat dan masyarakat Karampuang melakukan
berbagai persiapan. Kaum wanita menyiapkan beras ketan yang ditumbuk dan harus
dijaga serta diperlakukan baik sesuai dengan norma adat mereka, kegiatan ini
disebut Mallampu.
b. Mappaota merupakan sebuah ritual permohonan
izin atau restu untuk melaksanakan upacara adat ini. Dalam proses
pelaksanaannya, seluruh penghulu adat dibantu oleh masyarakat mengunjungi
tempat-tempat suci dengan membawa lempeng-lempeng, sejenis bakul mini yang
berisi bahan-bahan sirih. Inti dari pelaksanaan Mappaota ini adalah mengenang kembali leluhurnya yang telah
memberikan lahan-lahan pertanian yang subur serta kehidupan yang layak. Selain
itu, jumlah keenam sirih tersebut disimbolkan sebagai sebuah kematian, dimana
seluruh masyarakat yang mengikuti ritual tersebut senantiasa mengingat bahwa
hidup di dunia ini hanya sementara karena tempat keabadian yang sebenarnya
adalah akhirat karena dalam kepercayaan masyarakat adat Karampuang bahwa keenam
sirih tersebut menggambarkan tentang keenam macam proses penguburan dalam
kematian yaitu Mallayang atau
melayang, Digattung atau digantung, Ditunu atau Dibakar, Dibalaburu’ atau ditumpuk kemudian
ditimbun seadanya, Diwae atau
dihanyutkan, Masseddi-seddi atau
satu-satu. Keenam unsur inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar utama
pelaksanaan ritual Mappogau Sihanua.
c. Mabbaja-baja atau Mappipaccing Hanua
merupakan kewajiban seluruh
masyarakat karampuang untuk melaksanakan pembersihan di pekarangan rumah,
menata rumah, membersihkan sekolah, pasar, jalanan, sumur sehingga sebelum hari
pelaksananan ritual adat tersebut diharapkan seluruh wilayah karampuang telah
dibersihkan.
d. Menre’ ri bulu adalah acara naik gunung dan
merupakan puncak acara Mappogau Sihanua
dilaksanakan tiga hari setelah Mabbaja-baja.
Acara Menre’ ri bulu ini diawali
dengan proses yang sangat rumit karena pada malam sebelum pelaksanaan ritual
tahap ini, seluruh peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan sudah harus siap
termasuk makanan yang akan disantap oleh para tamu yang akan hadir, kemudian
menjelang pagi hari, seluruh ayam yang merupakan sumbangan warga dipotong,
dibersihkan, dan dibakar (membersihkan bulu halus) yang kesemuanya dikerjakan
oleh kaum pria. Setelah semuanya bersih maka kemudian diserahkan kepada kaum
perempuan untuk kemudian diolah menjadi bahan makanan.
Setelah makanan tersebut siap saji, maka sebagian digunakan
untuk kepentingan ritual dan sebagian pula untuk konsumsi peserta ritual.
Sambil menyiapkan makanan, Sanro beserta pembantu-pembantunya menggelar ritual Mattuli. Upacara Mattuli[4]
ini diiringi dengan genderang Sanro,
gamuru, jong-jong dan bunyi-bunyian lainnya. serta acara Mappaddekko (menumbuk lesung) yang
sekaligus menandakan bahwa ritual di puncak gunung akan segera di laksanakan. Seluruh
bahan upacara kemudian diarak menuju puncak gunung dan langsung menuju suatu
tempat khusus yang disebut Embae[5].
Di
dalam
lingkaran batu gelang inilah, rangkaian ritual sakral Mappogau Sihanua dilakukan.
Ritual naik gunung ini diakhiri
dengan Manre ade’ pada malam harinya
dengan mengundang makan bersama, penghulu-penghulu adat yang ada di sekitar
karampuang termasuk pejabat-pejabat yang menghadiri upacara tersebut. Semua
masyarakat dari setiap lapisan tanpa memandang strata sosial menyatu dalam
acara duduk bersama sambil mengadakan perbincangan demi mempererat rasa
silaturahmi.
e. Mabbali
Sumange’
satu acara membuat kue-kue dan
makanan tapi merupakan rangkaian ritual adat. Mabbali Sumange’, atau sering juga disebut dengan Massulo beppa, adalah suatu acara yang menyiapkan bahan-bahan obat
kepada seluruh warga pendukungnya. Pada acara ini seluruh warga menyiapkan kue
khusus yang disebut dengan kue Mabali
Sumange. Kue Mabbali Sumange’ itu
adalah berupa kue tradisional khas suku Bugis yang lebih dikenal dengan nama
yaitu Beppa Doko’-Doko’, kue ini
memiliki makna tersendiri dalam pengadaannya sebagai unsur yang harus ada dalam
ritual ini.
f. Malling merupakan tahap akhir dari upacara
adat ini. Malling ini bisa diartikan
sebagai berpantang yang dimulai setelah acara Mabali Sumange’. Adapun pantangannya sebagai berikut: Temma paccera’ (tak boleh memotong hewan
ternak), Temma rau kaju’ (tidak
boleh memasak sayur dedaunan), Temma
parumpu’ (tidak boleh mengadakan ritual di rumah), Massalanraseng alu’ (suami istri tidak boleh berhubungan
badan)
Acara Malling ini berlangsung selama 5 hari di rumah adat Tomatoa, tiga hari di rumah adat Gella, serta satu hari di rumah
penduduk. Setelah acara Malling ini
selesai maka ditutup kembali dengan upacara Mabbahang,
yaitu evaluasi dari pelaksanaan pesta dan rencana-rencana pelaksananan tahun
berikutnya. Inti dari pelaksanaan ritual Mappogau
Sihanua ini adalah pemujaan leluhur menggunakan media tinggalan megalitik
dan persembahan sesaji sebagai bentuk pengabdian manusia terhadap leluhurnya.[6]
C.
Nilai- nilai dalam Upacara Adat
Mappogau Hanua
Pesta
adat Mappogau Hanua tujuannya adalah untuk mengenang leluhur mereka, sebagai
bagian dari kepetaniaannya. Masyarakat Karampuang sebagai masyarakat yang tetap
memelihara tradisi mappogau hanua tentunya mengandung nilai yang diyakini baik
oleh masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai yang dimaksud antara lain:
1. Nilai
Solidaritas /persatuan
Sebagai
suatu pesta yang sangat meriah dan membutuhkan waktu lama, tentunya memerlukan
tenaga dan biaya yang sangat besar. Ternyata tidak pernah menjadi halangan
akibat biaya, seluruh warga siap membantu dan saling bahu-membahu dengan
kesadaran bersama.
2. Nilai
Filosofis dan Religi
Sebagai
suatu kawasan yang sacral, kawasannya dianggap sebuah mikrokosmos yang wajib
dijaga. Dengan demikian maka kegiatan dalam kawasan adatnya tidak dapat
dipisahkan dan nilai religi yang dikandungnya.
3. Nilai
Pelestarian Alam
Dalam
menjalankan tradisinya, mereka harus dekat dan bersahabat dengan alam
sekitarnya. Acara mappogau hanua tidak dapat dilaksanakan sebelum seluruh
kawasan adat bersih dari kotoran dan hal-hal yang kotor.
4. Nilai
Seni
Dalam menjalankan
tradisinya, nilai-nilai seni sangat menonjol sehingga sekaligus berfungsi
sebagai hiburan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karampuang merupakan suatu komunitas
adat yang mampu melestarikan tradisi leluhur yang menjadi warisan turun temurun
dengan menjalankan ritualnya sejak ratusan tahun hingga saat ini. Tradisi
mappogau hanua adalah pemujaan leluhur menggunakan media tinggalan
megalitik dan persembahan sesajian. Pemberian sesaji sebagai bentuk pengabdian
manusia terhadap leluhurnya yang dipuja dan mengandung arti yang mendasar,
yaitu sebagai symbol pengukuhan hubungan emosional antara warga dengan
leluhurnya. Hubungan itu sangat penting dalam pikiran mereka agar kesuburan
tanah tetap terjaga dalam melaksanakan kehidupan kepetanianya.
Ritual Mappogau Sihanua juga pada hakikatnya memang berarti
merealisasikan nazar kemudian di atas batu susun temu gelang ini juga digantungkan
kain putih sebagai peringatan jalan k.ematian. yang kedua yaitu Digattung.
B.
Saran
Seharusnya
pemerintah lebih berperan penting dalam mengembangkan suatu kebudayaan terutama
dalam suatu tradisi. Sebaiknya juga Pemerintah dan pihak terkait perlu menggali lagi
tradisi-tradisi yang masih tersimpan dan yang
masih berada di
masyarakat agar
lebih dikenal lagi keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhannis.
2009. Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai.
Pustaka Timur. Sinjai.
Mattulada. 1997.
Kebudayaan, kemanusian dan lingkungan
hidup. Makassar: University Press.
Hasyim, Hardiyanti. 2013. “nilai gotong-royong
dalam ritual adat masyarakat karampuang di kabupaten sinjai” (Skripsi sarjana,
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar